Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Menengok Klebutan Toya Masem (1)

Airnya dari Satu Sumber, Tapi Rasanya Ada Lima

Karangasem memang punya banyak lokasi yang layak dijadikan tempat untuk melakukan aktivitas spiritual. Salah satunya Bukit Bangle yang ada di Desa Bunutan, Abang. Di tempat ini, konon ada sumber mata air dengan lima rasa yang berbeda. Dan, Sabtu (10/4) yang lalu, Radar Bali akhirnya berkesampatan singgah ke tempat itu. Benarkah ada sumber mata air dengan lima rasa berbeda?

GUYURAN hujan pada Sabtu (10/4) siang akhirnya terhenti juga. Meski demikian, puncak Gunung Lempuyang masih terlihat kelabu disaput mendung kelam. Di tengah cuaca yang mulai mereda, saya sampai pula di Banjar Bangle yang terletak di Desa Bunutan, Kecamatan Abang.

Banjar yang berada di kaki bukit Bangle ini begitu asri. Dari kejauhan, rumah penduduk yang masih dibangun dengan cara tradisional terlihat begitu uniknya. Berundag-undag mengikuti alur ketinggian Bukit Bangle serta sebagian kaki Gunung Lempuyang.

Tak berselang lama, seorang pemuda bernama I Made Sulida menghampiri. Dia pun menanyakan maksud kedatangan saya. Dan, begitu mengetahui tujuannya adalah melihat Klebutan (mata air) Toya Masem, Made Sulida pun tak keberatan mengantarkan.

Sebelum melangkah ke lokasi klebutan, Sulida mengajak koran ini ke rumah I Nyoman Panda. Pria ini merupakan Kelian Banjar Adat setempat. Masih di rumahnya, Panda membenarkan mata air dengan lima rasa itu benar adanya.

Selesai mengenakan baju, Panda dan Sulida akhirnya menunjukan lokasi mata air tersebut. Jaraknya dari perkampungan sekitar lima kilometer dan hanya bisa dijangkau dengan melalui jalan setapak yang naik turun sungai. Jadi, perlu tenaga ekstra juga untuk sampai ke lokasi mata air tersebut.

Sepanjang perjalanan, Panda banyak bercerita mengenai keberadaan mata air yang juga disucikan warga Banjar Bangle itu. Menurutnya, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan mata air itu ditemukan pertama kalinya. “Orang mulai sedikit-sedikit tahu sekitar tahun 80-an. Kemungkinan, mata air ini sudah ada jauh sebelum Banjar Bangle ada,” kata Panda.

Menurut Panda, posisi mata air itu berundak-undak. Serta, terpisah dengan jarak yang relatif dekat antara yang satu dengan yang lainnya. Anehnya, dalam jarak yang dekat, rasa dari kelima mata air itu justru berbeda-beda. Dari kolam kelima yang lokasi paling atas, airnya terasa masam. Kemudian di kolam keempat yang terdiri dari dua pancuran, rasa airnya pahit bercampur asam. Di kolam ketiga, airnya terasa pahit. “Sementara yang di kolam pertama, rasanya masam lagi,” jelas Panda.

Oleh warga, air dari klebutan tersebut dipakai untuk melakukan prosesi mesucian. Karena disucikan, tentu di lokasi klebutan tersebut didirikan sebuah pelinggih yang diempon oleh warga setempat. “Upacaranya setiap Purnama Ketiga,” imbuhnya.

Di luar itu, sambungnya, aliran air dari klebutan itu dipakai untuk mengairi persawahan yang ada di bawah kaki Bukit Bangle. Uniknya, rasa air yang aneh dari klebutan tersebut justru membuat subur padi yang ditanami warga di bawah kaki bukit. “Khusus untuk padi saja. Kalau tanaman yang lain, pasti akan menguning,” tuturnya.

Setelah lelah berjalan kurang lebih 30 menit, akhirnya mata air pertama berhasil terjangkau. Panda dan Sulida yang tampak kelelahan berjalan langsung menyerbu pancuran di mata mata air pertama itu. Bahkan, Panda terlihat begitu semangatnya meneguk air di klebutan pertama yang rasa masam tersebut. “Ayo ke sini. Coba saja, nggak apa,” ajaknya.

Mendapat ajakan seperti itu, saya pun mencoba air yang ditadah dengan tangan. Apa yang dikatakan, bahwa air di klebutan pertama rasanya masam ternyata benar adanya. Rasa asamnya akan semakin terasa ketika air sudah melewati rongga mulut sehingga lidah terasa kesat.(air)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?