Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Airnya Diyakini Punya Khaziat Menyebuhkan Penyakit


Percaya tidak percaya, air di Klebutan Toya Masem memang punya rasa yang aneh. Konon keanehan rasa air itulah yang membuat beberapa orang luar Karangasem mendatangi mata air ini. Untuk apa ya?

RASA masam setelah menenggak air tersebut masih terasa. Sementara Panda melanjutkan ceritanya mengenai mata air yang ada di banjarnya tersebut. Menurutnya, rasa air yang aneh tersebut tak jarang mendorong beberapa orang dari luar Karangasem datang ke Klebutan Toya Masem. Setiap kali datang, mereka kebanyakan berniat meminta air tersebut untuk dijadikan obat.

“Kebanyakan orang Gianyar, Singaraja, Klungkung, dan Badung. Mereka bilang mau nunas air untuk dijadikan obat,” kata Panda sambil mengusap wajahnya dengan air di klebutan pertama.

Entah khasiat atau unsur apa yang terkandung dalam air tersebut. Panda pun mengaku sama sekali tidak mengetahuinya. Apalagi dia bukan orang berpendidikan tinggi. Namun keyakinan mendorong dirinya percaya bahwa air itu punya khasiat untuk mengobati. “Saya nggak tahu ada apanya. Tapi orang-orang yang datang ke sini bilang manjur. Terakhir yang saya dengar, ada orang yang kena kencing manis sembuh minum air ini,” imbuhnya.

Panda, Sulida, dan koran ini akhirnya melanjutkan perjalanan ke klebutan kedua yang berada sekitar setengah kilo di atas klebutan pertama. Sambil jalan, Panda mengatakan bahwa mata air ini tidak pernah surut. Mengalir terus meski di musim kemarau. Di musim hujan, rasa airnya juga tak mengalami perubahan. “Ada yang bilang mata air ini ada kaitannya dengan Pura Lempuyang,” kata pria berperawakan pendek ini.

Tak berapa lama, kami pun sampai di klebutan kedua. Sayangnya, lokasi klebutan kedua ini agak curam dan labil karena berada di tebing. Koran ini pun agak ketakutan juga untuk menjangkau pancurannya. Karena jalannya cukup lembab dan licin. “Hati-hati, di sini agak licin. Beberapa hari lalu, tanah di atas longsor,” kata Panda.

Dibantu Sulida, pancuran kedua akhirnya bisa dicapai. Tanpa ajakan Panda, koran ini pun mereguk air di klebutan kedua untuk membuktikan rasanya. Kali ini, airnya terasa lebih aneh lagi. Awalnya terasa pahit, namun begitu air sudah melewati kerongkongan rasanya berubah menjadi masam. Lebih masam dari air yang ada di klebutan pertama.

Menurutnya, siapa saja boleh ke klebutan ini. Namun karena statusnya disucikan oleh warga, tentu ada pantangannya. Umumnya, mereka yang tidak boleh datang adalah orang yang sedang kecuntakan. “Biasalah, yang kecuntakan tentu tidak boleh,” kata Panda.

Disinggung mengenai upaya penataan, Panda mengaku sejauh ini masih sedang diupayakan. Itu pun sifatnya swadaya oleh masyarakat setempat. Sedangkan bantuan dari pemerintah sejauh ini belum ada. “Sedang kami upayakan. Tentu swadaya. Kalau dari pemerintah belum ada. Mudah-mudahan, setelah upaya kami tercapai, baru kami meminta bantuan ke pemerintah,” tandas Panda.(air)










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)