Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Reboisasi Mandiri Ala Warga Temukus

Menyelamatkan 30 Hektar Lahan Labil


Meski masuk kategori subur, lahan di Dusun Temukus, Desa Besakih ternyata cukup labil. Unsur tanah yang banyak mengandung pasir membuat lahan di pedusunan tersebut rentan longsor. Di sisi lain, lahan yang curam tersebut tidak disertai dengan pepohonan penyangga. Karena itu, warga setempat dengan swadaya melakukan reboisasi. Seperti apa jalannya?

KABUT tebal terlihat menyelimuti Gunung Agung pada Kamis (18/2) siang. Rona-ronanya, kawasan spiritual tersebut sebentar lagi akan hujan. Meski demikian, koran ini harus tetap melanjutkan perjalanan untuk menengok aktivitas beberapa warga di Dusun Temukus, Desa Besakih yang sedang mereboisasi wilayahnya.
Penghijauan tersebut sedang mereka gencarkan karena kebetulan mendapat bantuan 2 ribu bibit Albesia yang diperjuangkan Uluapad Community dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali.
Awalnya, koran ini melintasi jalan yang lumayan baik karena dilapisi semen. Namun kondisi jalan yang bebas hambatan itu ternyata tak bisa dirasakan dengan lama. Karena sekitar satu kilometer kemudian, jalan yang tadinya beraspal berganti dengan jalan tanah yang menurun curam.
Bersamaan dengan perubahan jalan itu, koran ini pun melihat bagaimana curamnya lahan yang ada di Dusun Temukus. Selain itu, di sepanjang jalan akan dengan mudah terlihat sisa-sisa longsoran tanah yang belakangan ini sering terjadi akibat hujan.
“Beginilah kondisi lahan di sini. Labil. Kalau sudah musim hujan gampang longsor. Karena sangat sedikit disangga oleh pepohonan,” terang salah seorang anggota Uluapad Community kala itu. Di saat yang sama, di bawah jalan tanah yang kami jejaki terlihat seorang suami istri tengah memagari bibit Albesia yang baru saja ditanami. Bibit itu dipagari dengan bilah-bilah bambu.
Tak lama kemudian, Kepala Dusun Temukus I Wayan Sudiana datang menghampiri. Kepala dusun yang terbilang sangat muda karena usianya 26 tahun ini menyapa koran ini. Dia pun langsung membuka pembicaraan dan menceritakan kondisi lahan di dusunnya. “Kalau dihitung-hitung ada 30 hektar lebih lahan di sini yang labil,” kata Sudiana.
Kondisi lahan yang boleh dibilang cukup berbahaya itu sudah mulai disadari warga Dusun Temukus sejak 1980. Sejak saat itu juga, warga pun sadar pentingnya menanami lahan mereka dengan pepohanan. Dengan cara swadaya, mereka pun membeli bibit dan melakukan penanaman.
“Biasanya warga di sini menanam Albesia. Mereka beli bibitnya sekitar 30 batang dengan harga satu batangnya seribu rupiah,” jelas Sudiana seraya menambahkan jenis pohon lain yang ditanam seperti Ampupu atau kayu putih serta Mahoni.
Cara swadaya ini, menurut Sudiana memang diakui kadang berhasil kadang tidak. Karena kenyataannya, upaya warga melakukan penghijauan di tanah kelahirannya tak jarang menemui kendala. “Kendalanya tentu masalah bibit. Di sisi lain, bibit-bibit pohon yang ditanam tidak jarang diserang virus Gondokan. Misalnya, kalau satu warga menanam seratus bibit, paling yang hidup hanya 25 saja,” tuturnya.
Untuk kendala yang disebabkan virus, Sudiana mengaku sudah berupaya meminta penyuluhan kepada Departemen Kehutanan Bali lewat Resor Polisi Hutan Rendang. Tinggal ketersediaan bibit saja yang menjadi kendala. “Di sini penyuluhan sudah beberapa kali diberikan. Cuma kendalanya sekarang soal ketersediaan bibit saja,” ujarnya.
Kebetulan Kepala Resor Polisi Hutan Rendang I Wayan Tunas ikut nimbrung dalam kegiatan penghijauan kemarin. Menurut Tunas, rata-rata kemiringan tanah di Dusun Temukus mencapai 40 derajat dengan jenis tanah Glukosal kelabu. Bisa dikatakan cukup curam. Sehingga adanya pepohonan untuk menyangga lahan sangat diperlukan.
“Di sini jenis tanahnya Glukosal Kelabu dan banyak mengandung pasir. Karena kondisi lahan yang kering, bila kena hujan sangat rentan dengan longsor,” jelas Tunas.
Soal virus Gondokan yang kerap melanda Albesia yang ditanam warga, Tunas mengakui sejauh ini belum ada obat ampuh untuk membasminya. Namun, dari anjuran Departemen Kehutanan, pohon Albesia yang terserang virus Gondokan bisa dicegah dengan mengorek bagian pohon yang terserang virus tersebut.
“Jujur saja sampai sekarang belum ada obatnya. Satu-satunya cara yang bsia diterapkan adalah mengorek batang pohon yang kena Gondokan itu. Habis itu, batang yang dikerok itu dilumuri dengan cairan belerang. Ini sudah sempat diterapkan dan berhasil di Desa Pempatan,” katanya.
Kembali ke Sudiana, menurutnya kebutuhan bibit pohon di dusunnya dalam setahun minimal 30 ribu bibit yang dibutuhkan. Bukannnya tanpa sebab jumlah itu diajukan Sudiana. Ini lantaran pepohonan yang ditanam tak hanya berfungsi untuk menyangga tanah semata. Bagi warga setempat, menanam pohon sama dengan investasi.
Dalam kurun waktu delapan tahun setelah penanaman, warga setempat bisa menikmati hasilnya. Pohon tersebut ditebang dan dijual dengan harga yang cukup menggiurkan. Apalagi Albesia yang konon dipakai sebagai bahan baku pembuatan patung dan kertas harganya bisa mencapai Rp 4 juta per batang. “Kalau sudah ditebang, warga akan kembali menanam ulang. Singkatnya, satu ditebang, sepuluh ditanam,” tutur Sudiana.
Karena itu, pihaknya pun dari dulu sangat berharap ada uluran bantuan bibit dari pemerintah. Dan kebetulan, sekitar enam bulan lalu pihaknya sempat bertemu dengan beberapa anggota Uluapad Community. Dari sana ada kesepakatan untuk membantu warga setempat meminta bantuan bibit. “Untuk tahap awal, bibit yang disediakan sebanyak 2 ribu pohon Albesia. Mudah-mudahan jumlah ini bisa ditingkatkan,” kata Sudiana berharap. (chairul amri simabur)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)