Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Meamian-amianan, Suka Cita Para Dewa


KARANGASEM ternyata punya segudang tradisi unik yang masih tetap lestari hingga saat sekarang. Selain Geret Pandan di Tenganan, Ter Teran di Jasi, masih ada tradisi unik lainnya yang cukup menarik untuk ditonton. Di Desa Adat Asak, Kecamatan Karangasem, ada tradisi Meamian-amianan yang hanya digelar pada Purnama Kedasa selama dua tahun sekali.

Dalam tahun ini, tradisi itu kembali digelar sejak Selasa (30/3) yang lalu hingga Rabu (31/3) kemarin. Para warga terutama kaum lelaki berkumpul di Pura Desa Adat Asak sekitar pukul 16.00 untuk bersiap mengarak jempana yang menjadi tempat pretima (benda suci milik desa).

Jempana tersebut kemudian digotong ke Beji Toya Ijeng yang berjarak sekitar satu kilometer dari pura. Sesuai namanya, Beji merupakan sumber mata air yang sangat disucikan. Sehingga di tempat itu pula seluruh jempana disucikan.

Yang menarik dari prosesi ini adalah aksi saling sogok-menyogok antara pengusung jempana. Ini berlangsung sekembalinya dari proses penyucian di beji dan sebelum jempana kembali distanakan di Bali Agung.

Pada momen ini, dipercaya ada kekuatan niskala yang mendorong para pengusungnya untuk melakukan aksi sogok-menyogok. Sumber kekuatan niskala itu terletak pada jempana yang diusung. Bahkan, bila mau jempana tersebut bisa mendorong pengusungnya berlari sejauh-sejauhnya hingga desa tertentu.

Menurut tokoh masyarakat Desa Adat Asak I Nyoman Winata, tradisi ini sudah diwariskan turun temurun. Sehingga tak bisa diketahui secara pasti sejak kapan tradisi ini dimulai. Meski demikian, oleh warga setempat tradisi ini wajib dilakukan pada Purnama Kedasa selama dua tahun sekali. Sebagai bentuk ucapan syukur kepada Ida Betara.

“Meamian-amianan sendiri merupakan padanan dari melila cita. Sehingga meamian-amianan bisa dimaknai sebagai pestanya para dewa,” jelas Winata.

Sebelum meamian-amianan dilaksanakan, ada beberapa prosesi yang mesti dilakukan. Dan, rentang waktunya terbilang cukup panjang. Untuk kali ini saja, prosesi sudah dimulai sejak 25 Maret yang lalu dengan kegiatan melasti. Kemudian tuhunan teruna (pengukuhan pemuda secara adat) pada 28 Maret yang lalu. Meyaban dan nyolahang Ida Betara pada 29 Maret malam. “Sebelum meamian-amianan digelar ada beberapa upacara yang harus dilakukan. Makanya prosesinya cukup lama,” tandas Winata. (rul)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)