Postingan

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Nginjak Bumi, Tradisi Unik Kampung Grembeng

Gambar
DALAM sepuluh hari lagi, kalender islam akan memasuki bulan Rabiul Akhir. Meski demikian, peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW atau kerap disebut Maulid Nabi masih tetap berlangsung di Karangasem. Perayaannya masih bisa ditemukan di beberapa kampung Muslim di Karangasem dengan berbagai tradisi unik khas wilayah setempat. Di Kampung Gerembeng Atas contohnya. Kemarin, Minggu (7/3), perayaan Maulud Nabi dilaksanakan dengan tradisi Ngurisang. Tradisi ini dilakukan dengan cara menguris rambut puluhan bayi di kampung setempat. Prosesi pemotongan rambut bayi tersebut diiringi dengan pembacaan Shalawat. Kalau dilihat sepintas, tradisi ini menunjukan adanya akulturasi Hindu dan Islam. Karena dalam pelaksanaannya banyak mempergunakan kembang dan air. Tradisi ini sendiri terbagi dalam tiga tahapan. Setelah pemotongan rambut bayi, tradisi ini kemudian dilanjutkan dengan Mejurag atau melempar uang koin yang bercampur kembang. Mejurag ini dilakukan di halaman masjid dan diikuti oleh ratusan anak

Pulang dari Melaut

Gambar
INDONESIA memang punya kekayaan laut yang menakjubkan. Pun demikian dengan Bali yang dikenal di tiap penjuru dunia. Inilah gambaran kehidupan nelayan tradisional di Bali yang dijepret di Tanah Ampo, Karangasem. Mereka dengan gotong royong memperbaiki jaring yang baru saja dipakai untuk menangkap ikan. Mereka berangkat dini hari dan pulang dengan tangkapan yang siap dijual pada pagi hari. (rul)

Horee…Sekarang Punya Cupang

Gambar
SEJAK 4 Maret 2010, di kamar kosku yang sempit kedatangan penghuni baru. Mereka tak lain tiga ekor ikan Cupang yang anggun. Lumayan untuk teman sekaligus pelepas suntuk di kamar kos. Tiga ekor Cupang ini beli di penjual ikan yang ada di dekat Tugu Pahlawan Karangasem pada hari itu juga. Ketiga ikan ini aku taruh di botol bekas yang sudah aku potong. Tidak banyak makan tempat, karena tubuh ikan petarung ini tidaklah besar. Meski tercatat sebagai ikan kelas petarung, ikan ini tidak akan aku adu. Kasihan, tubuhnya yang mungil tapi anggun bakal rusak. Bahkan bisa mati kalau dia kalah saat diadu. Welcome Mbak Cupang.(rul)

Mads Lange, Arsitek Ketenaran Kuta

Gambar
KUTA dengan segala ketenarannya ternyata menyimpan banyak sejarah. Tak hanya sebagai tujuan wisata utama dunia, Kuta yang berada di Kabupaten Badung tercatat pula sebagai kawasan perdagangan yang layak diperhitungkan pada masanya. Bahkan, kongsi dagang Belanda alias VOC yang bekedudukan di Batavia sempat mengalami depresi politik lantaran pesatnya kemajuan Kuta masa itu. Melejitnya Kuta sebagai sebuah tujuan wisata sesungguhnya dimulai pada abad 19. Pada saat itu, Kuta menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Kemajuan di bidang perdagangan kala itu, kelak di kemudian hari menjadikan Kuta sebagai kawasan wisata utama di dunia. Konstruksi dari itu semua tak lepas dari peran seorang seorang Denmark bernama Mads Johansen Lange. Berdasarkan tinjauan sejarah yang ada, pria kelahiran Rudkobing pada 18 September 1807 ini seorang pengusaha sekaligus politisi ulung. Terdamparnya Mads Lange di Bali hingga akhir hayatnya tak terlepas dari situasi perpolitikan dan ekonomi di negaranya

Prosa I

Aku sudah berusaha maksimal. Proses demi proses sudah aku lalui. Bahkan, aku harus berjalan dalam kegelapan. Tapi mengapa proses yang aku lalui tetap terkesan tidak sempurna? Malah sebaliknya, aku menuai cibiran telak dari segala penjuru. Aku harus mengecap penilaian terburuk dari tiap ujung jari. Salahkah aku bersikap hati-hati. Aku sudah belajar untuk merubah mental. Dari yang buruk di mata teman-teman. Menuju yang baik di mata komunitas dan profesi. Aku pun sudah berusaha untuk menghindari kebiasaan sesat dalam sebuah profesi. Aku hanya ingin bersikap bijak. Tiada niatku untuk lepas dari idealisme. Bukankah profesi ini mengedepankan nalar pula. Bukan sekadar skeptis yang tinggi? Nalar itu aku terapkan. Karena aku harus mandiri. Rasa nyaman dan aman bukankah hak azasi. Pun demikian dalam menjalani profesi. Chairul AS, 22 Pebruari 2010

Gebug Ende, Warisan Perang Tentara Seraya

Gambar
Diyakini Bisa Mendatangkan Hujan Lantaran diyakini bisa mendatangkan hujan, Gebug Ende lahir di Seraya. Dan, di musim kemarau tahun ini, tradisi ini kembali digelar. Bagaimana tradisi ini lahir? BEBERAPA hari belakangan ini, warga Desa Seraya, Karangasem dalam rentang waktu tiga hari mendapat hiburan gratis pada sore harinya. Yakni, kesenian Gebug Ende yang kembali digelar oleh Desa Pekraman setempat. Tradisi ini dilakukan untuk memohon datangnya hujan dan menyudahi musim kemarau yang saat ini masih menyengat. Selama ini, Gebug Ende memang identik dengan kekeringan. Karena, kesenian yang dimainkan oleh kaum lelaki di Seraya ini memang dipercaya memiliki kesakralan. Bagi warga Seraya, musim kemaru yang tak berkesudahan menjadi waktu bagi mereka untuk menggelar tradisi tersebut. Tradisi yang sejatinya warisan kaum lelaki Seraya yang menjadi pasukan kerajaan Karangasem saat ekspansi ke Kerajaan Selaparang, Lombok. Entah apa kaitannya antara Gebug Ende dan hujan? Yang jelas, kepercayaan it

Reboisasi Mandiri Ala Warga Temukus

Gambar
Menyelamatkan 30 Hektar Lahan Labil Meski masuk kategori subur, lahan di Dusun Temukus, Desa Besakih ternyata cukup labil. Unsur tanah yang banyak mengandung pasir membuat lahan di pedusunan tersebut rentan longsor. Di sisi lain, lahan yang curam tersebut tidak disertai dengan pepohonan penyangga. Karena itu, warga setempat dengan swadaya melakukan reboisasi. Seperti apa jalannya? KABUT tebal terlihat menyelimuti Gunung Agung pada Kamis (18/2) siang. Rona-ronanya, kawasan spiritual tersebut sebentar lagi akan hujan. Meski demikian, koran ini harus tetap melanjutkan perjalanan untuk menengok aktivitas beberapa warga di Dusun Temukus, Desa Besakih yang sedang mereboisasi wilayahnya. Penghijauan tersebut sedang mereka gencarkan karena kebetulan mendapat bantuan 2 ribu bibit Albesia yang diperjuangkan Uluapad Community dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Awalnya, koran ini melintasi jalan yang lumayan baik karena dilapisi semen. Namun kondisi jalan yang bebas hambatan itu ternyata tak bis

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sandyakalaning Arak Karangasem