Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Gebug Ende, Warisan Perang Tentara Seraya

Diyakini Bisa Mendatangkan Hujan


Lantaran diyakini bisa mendatangkan hujan, Gebug Ende lahir di Seraya. Dan, di musim kemarau tahun ini, tradisi ini kembali digelar. Bagaimana tradisi ini lahir?

BEBERAPA hari belakangan ini, warga Desa Seraya, Karangasem dalam rentang waktu tiga hari mendapat hiburan gratis pada sore harinya. Yakni, kesenian Gebug Ende yang kembali digelar oleh Desa Pekraman setempat. Tradisi ini dilakukan untuk memohon datangnya hujan dan menyudahi musim kemarau yang saat ini masih menyengat.
Selama ini, Gebug Ende memang identik dengan kekeringan. Karena, kesenian yang dimainkan oleh kaum lelaki di Seraya ini memang dipercaya memiliki kesakralan. Bagi warga Seraya, musim kemaru yang tak berkesudahan menjadi waktu bagi mereka untuk menggelar tradisi tersebut. Tradisi yang sejatinya warisan kaum lelaki Seraya yang menjadi pasukan kerajaan Karangasem saat ekspansi ke Kerajaan Selaparang, Lombok.
Entah apa kaitannya antara Gebug Ende dan hujan? Yang jelas, kepercayaan itu masih berkembang sampai sekarang. Kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun bagi anak cucu kawasan kering tersebut. Seperti terlihat pada Selasa (10/11) dan Jumat (13/11) yang lalu. Warga dari Desa Seraya Barat, Tengah, dan Timur berkerumun di Lapangan Voli, Banjar Merajan. Untuk menyaksikan kesenian yang mirip dengan permainan anggar ini.
Bendesa Pekraman Seraya, I Made Putu Suarsa mengakui kalau secara logika kaitan antara Gebug Ende dan turunnya hujan memang tidak ada kaitannya. Namun, sebagai seorang pria yang lahir di Seraya, dia meyakini fungsi Gebug Ende di musim kemarau.
“Selain aspek seni dan olahraga, Gebug Ende memang sangat sakral bagi warga kami. Kesenian ini memang digelar untuk memohon turunnya hujan,” jelas Putu Suarsa di sela permainan berlangsung, Jumat yang lalu.
Menurutnya, sulit untuk menentukan awal mula Gebug Ende itu tumbuh di Seraya. Lantaran sejarah tertulis yang bisa dijadikan rujukan tidak ada sama sekali. Selain, tutur dari para orang tua yang mengalir dari masa ke masa. “Yang jelas, tradisi ini ada sejak warga Seraya yang dipilih Kerajaan Karangasem untuk perang pulang dari Lombok,” jelasnya.
Kalau melihat sejarah, pada abad ke-16 memang Kerajaan Karangasem melakukan ekspansi ke wilayah itu dengan melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Selaparang. Dari peperangan itu, tentara Seraya di bawah panji Kerajaan Karangasem meraih kemenangan.
“Setelah kemenangan itu, ada warga Seraya yang pulang ke kampung. Dan, ada juga yang menetap di Lombok. Tempat yang mereka diami sekarang namanya Desa Karang Seraya di Kecamatan Seraya, Lombok Barat,” imbuh pria berkacamata ini.
Lantas apa kaitannya dengan permohonan turunnya hujan? Menurut Putu Suarsa berdasarkan cerita yang dia terima dari leluhur orang Seraya, saat perang dengan Kerajaan Selaparang berlangsung konon jalannya diiringi dengan hujan yang lebat. Dan, sekembalinya tentara Seraya ke kampung halamannya, kekeringan melanda. “Mereka yang kembali ke kampung berinisiatif untuk melakukan kembali adegan perang yang pernah dilakukan di Lombok. Dengan cara itu, mereka yakin hujan akan turun. Dan, hujan pun diyakini benar-benar turun kala itu,” tutur Jero Bendesa.
Sejak saat itu, warga Seraya pun menganggap Gebug Ende sebagai sebuah kewajiban yang harus digelar setiap musim kemarau. Terlebih, bila musim kemaru tersebut berlangsung cukup lama. “Ya, seperti sekarang ini. Musim kemarau nggak berhenti. Makanya kami gelar,” tandasnya.

Bila Kepala Berdarah, Tanda Hujan Tiba

Dalam perkembangannya, tradisi Gebug Ende mengalami sejumlah perubahan. Dulu, saat perang dengan Kerajaan Selaparang, para tentara Seraya menggunakan tombak dan senjata tajam. Namun kini, hal itu tidak berlaku lagi. Perangkat yang digunakan saat ini berupa tamian (tameng) yang terbuat dari anyaman bambu berlapis kulit sapi. Serta rotan yang digunakan sebagai alat pemukul.
“Kalau dulu, orang mau perang harus menjalani proses seleksi yang ketat. Mereka yang dipilih sebagai tentara adalah peserta sangkepan terpilih,” jelas I Made Putu Suarsa.
Antara percaya tidak percaya, seleksi yang dilakukan untuk memilih pasukan perang cukup terdengar sadis. Proses seleksi dilakukan saat sangkep berlangsung di Bale Agung. Pesertanya wajib membawa pandan berduri dan diselipkan di bagian ketiaknya.
“Saat masuk Bale Agung, pandan yang ada di ketiaknya itu ditarik. Mereka yang tidak mengalami luka boleh ikut sangkep dan menjadi tentara. Sementara yang luka, dilarang ikut sangkep. Apalagi perang,” begitu cerita Jero Bendesa.
Begitu halnya dengan proses memilih senjata. Ada cara unik yang dilakukan kala itu. Senjata yang hendak dipakai berperang harus melewati tes di pelinggih Pura Puseh desa setempat. Ada satu tiang pelinggih yang dijadikan alat untuk mengetes. Di sana senjata itu ditancapkan untuk diuji. Kalau patah atau tumpul, sudah pasti dibuang.
“Yang masih tajam, itu yang dipakai. Karena warga percaya, senjata itu sudah dianugerahi oleh Ida Betara Dewa Gede Kekangin yang disungsung warga,” imbuhnya.
Itu gambaran saat tentara Seraya hendak berangkat perang. Namun setibanya kembali ke desa dan memaikan Gebug Ende, senjata tajam itu tak lagi dipakai. Mereka menggantinya dengan rotan dan tamiang. Dan, sampai sekarang perangkat tersebut masih dipakai sebagai sarana permainan Gebug Ende. “Sekarang sudah diganti dengan tamiang dan rotan,” kata Suarsa.
Sekalipun alat pukul yang dipakai sudah diganti dengan rotan, bukan berarti pemainnya tak akan merasakan sakit. Pukulan rotan terkadang menimbulkan luka memar pada bagian tubuh pemainnya. Biasanya akan terlihat dengan warna biru yang memanjang. Kalau memang pukulannya begitu keras.
“Tapi selama ini nggak ada yang mengeluh sakit. Justru mereka tambah semangat bermain. Mungkin karena sugesti yang mereka dengar dari bunyi gamelan,” ujar Suarsa meyakinkan bahwa tidak ada rasa sakit yang dialami pemain.
Satu lagi keyakinan yang terdengar menyeramkan. Warga Seraya yakin, kalau ada salah seorang pemain yang bagian kepalanya kena pukulan rotan dan mengeluarkan darah hingga menetes ke tanah, itu artinya tak lama lagi hujan akan turun. “Janganlah sampai menetes ke tanah. Asal kepalanya sudah keluar darah, warga yakin hujan akan turun,” pungkasnya.(chairul amri simabur)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)