Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Candi Kimpulan, Jejak Mataram Kuno yang Tercecer

Penemuan situs Kimpulan di areal Universitas Islam Indonesia (UII) hingga kini menjadi pusat perhatian para arkeolog. Sebab, situs ini merupakan ceceran sejarah mengenai kerajaan Mataram Kuno. Sekalipun candi ini sekarang berstatus monumen mati (dead monument). Apa saja yang ditemukan?

PULUHAN orang tukang terlihat sibuk menggali di salah satu sudut areal Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta, Sabtu (24/1) yang lalu. Mereka meraup pasir lapis demi lapis untuk kemudian di timbun pada tempat lain. Semua itu dilakukan untuk memisahkan bangunan yang tertimbun oleh pasir bekas muntahan Gunung Merapi.

Bangunan itu kini begitu penting untuk digali. Karena sejak 11 Desember 2009 yang lalu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jogyakarta menetapkan bangunan itu sebagai bangunan candi bersejarah. Namanya situs candi Kimpulan. Oleh para arkeolog yang meneliti penemuan tersebut, nama itu diberikan lantaran lokasinya berada di Dusun Kimpulan, Kabupaten Sleman.

Hingga kini bangunan itu belum selesai digali. Sekalipun demikian, beberapa temuan yang diperoleh selama proses ekskavasi menyimpulkan bahwa situs tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Dan, dibangun sekitar abad delapan hingga sepuluh.

“Sebenarnya tidak banyak informasi yang diperoleh dari candi ini. Karena dokumen tertulis seperti prasasti sejauh ini belum ditemukan. Namun melihat hasil temuan yang kami peroleh, bisa disimpulkan candi ini peninggalan zaman Mataram Kuno,” kata Ketua Pokja Pemugaran BP3 Jogyakarta, Budi Sancoyo. Kebetulan dia juga ikut tergabung dalam Tim Ekskavasi Situs Kimpulan sebagai arkeolog.

Budi pun bercerita mengenai awal mula penemuan situs ini. Menurutnya, penemuan situs ini tanpa disengaja. Pada 11 Desember 2009 yang lalu, pihak UII berniat membangun perpustakaan pada areal penemuan situs tersebut. Saat penggalian untuk membenamkan cakar ayam, tanpa disengaja alat berat tukang terantuk bebatuan.

“Bebatuan itu ditemukan pertama kali di sudut barat laut dari candi. Setelah dilaporkan keesokan harinya dan dilakukan peninjauan, BP3 mamastikan bebatuan iu merupakan dinding pagar sebuah candi yang berbahan andesit,” jelas Budi.

Karena ada kepastian seperti itu, BP3 pun memulai proses ekskavasi dan memugar areal tersebut kurang lebih 600 meter persegi. Data awal yang dikantongi hanya ukuran dinding pagar pada dua sisi. Pertama di sisi utara dengan ukuran enam meter. Selanjutnya, dinding pagar di sebelah timur dengan ukuran 2,7 meter.

“Pada dasarnya ekskavasi itu bersifat merusak. Jadi tim memutuskan buat grid ukuran empat meter persegi. Selain itu, ini dibuat agar memudahkan pendokumentasian,” kata pria alumni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada ini.

Berawal dari data tersebut, tim pun menemukan bangunan induk candi dengan ukuran 36 meter persegi. Menariknya, bangunan induk tersebut memiliki pintu masuk yang cukup sempit. Tepatnya 60 centimeter dengan posisi menghadap ke timur. “Penemuan bangunan induk ini kemudian diperdalam lagi. Hingga ditemukan lingga yoni dan patung Ganesha yang membelakangi pintu masuk,” imbuh pria berperawakan pendek ini.

Dari candi induk, tim kemudian menemukan candi perwara atau wahana berukuran 24 meter persegi. Dari namanya, candi tersebut merupakan bangunan pemujaan terhadap kendaraan para dewa yang biasanya disimbolkan dengan binatang. Pintu masuknya berukuran sama dengan candi induk, 60 meter persegi.

Di candi wahana tersebut, tim menemukan patung Nandini, lembu yang menjadi kendaraan Dewa Siwa. Ada pula lingga yoni, yang menurut Budi, tidak lazim ditemukan pada candi perwara. Masih pada lokasi yang sama, tim menemukan dua lapik (meja pemujaan) berbentuk padma. Serta sebuah lubang menyerupai sumur.

“Hal lainnya yang membuat tidak lazim candi ini adalah bangunannya tidak berundag. Dengan ketinggian kurang lebih enam meter. Kemungkinan, untuk naik ke candi, pada zaman dulu menggunakan tangga kayu,” prediksi Budi.

Berdasarkan temuan-temuan itu, kata Budi, timnya pun menyimpulkan bahwa candi tersebut merupakan candi Hindu. Hal lain yang menguatkan kesimpulan itu, lokasi penemuannya berada di lereng selatan Gunung Merapi. Berdasarkan sejarah candi yang ditemukan lebih awal, macam Prambanan dan Borobudur, pusat kerajaan Mataram Kuno memang berada di wilayah selatan Gunung Merapi.

“Meski ini situs ini ada di wilayah kerajaan. Candi ini kemungkinan bukan tempat pemujaan kerajaan. Tetapi tempat pemujaan bagi warga desa pada zaman itu. Artinya, situs serupa kemungkinan ada di wilayah sekitar candi ini,” katanya.

Penemuan situs Kimpulan ini jelas menjadi benang merah baru bagi sejarah Mataram Kuno. Yang selama ini masih didominasi candi Prambanan dan Borobudur. Karena memiliki nilai sejarah tinggi, candi tersebut rencananya akan dilestarikan.

“Ini memang tempat pemujaan namun sudah menjadi dead monument. Karena sudah ditinggalkan pemeluknya. Meski demikian, candi ini akan tetap dilestarikan,” imbuh Budi.

Disinggung mengenai rencana pembangunan perpustakaan, Budi mengaku sejauh ini masih dicarikan jalan tengah. Agar upaya pelestarian dan rencana kampus UII membangun perpustakaan sama-sama jalan. “Kemungkinan mendesain ulang bangunan. Saya tidak tahu bagaimana jadinya nanti. Apa menyesuaikan dengan kebutuhan lahan atau bagaimana? Yang jelas, sekarang masih dirundingkan,” tandasnya.(chairul amri simabur)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)