Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara...

Ketika Batik Mendapat Julukan World Haritage

Indonesia memang patut berbangga, ketika 2 Oktober 2009 yang lalu UNESCO menetapkan kain batik sebagai warisan dunia atau lebih keren world heritage. Bagaimana tidak, batik merupakan hasil budaya Indonesia yang bisa dibilang mengakar di tiap penjuru Nusantara. Tak terkecuali Bali. Karena adanya pengukuhan tersebut, tak mengherankan kalau pemerintah menetapkan Hari Batik Nasional dan menganjurkan tiap warga mengenakan batik. Apakah itu sudah cukup?

BAGI para pengerajin batik di Jogyakarta, pengakuan itu memberi kebanggan sekaligus tantangan yang begitu rumit dan berat. Bangga karena pamor batik di mata dunia semakin naik. Terutama dalam dunia fashion yang belakangan cenderung menggagas ide kekinian. Karena, batik selama ini diidentikan dengan kekunoan. Sehingga sangat jarang designer menjadikan batik sebagai pilihan alternatif bahan busana.
Dikatakan tantangan rumit dan berat, lantaran industri kerajinan batik tradisional harus berhadapan dengan pabrik bermodal besar. Yang mengandalkan mesin printing untuk memproduksi helai demi helai batik. Dengan mesin, kain yang dihasilkan bisa berkali lipat dibandingkan dengan kain batik yang ditulis pakai tangan atau dicap. Dengan mesin juga, kualitas bisa dikelabui dengan motif-motif yang dibuat secara halus lewat design olahan komputer.
Seperti itulah yang dirasakan Hadi Suwito, salah seorang pembatik Jogya yang seumur hidupnya berkecimpung pada batik. Hal ini sudah dirasakannya, jauh sebelum UNESCO menetapkan batik sebagai warisan dunia. “Bagaimana ya? Ada bangganya, tapi kok ya masalahnya tetap ada,” kata Hadi yang kesehariannya bekerja sebagai Kepala Produksi di Batik Plentong. Sebuah gerai batik di Lingkungan Tirtodipuran, Kecamatan Kota Gede.
Dia mengatakan, produksi batik tulis dengan printing sangat berbeda. Dari printing yang biasa digunakan pabrik textile bisa dihasilkan batik dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan buatan tangan. Tak hanya itu, harganya pun relatif murah dibandingkan harga batik tulis.
“Pasti lebih cepat dibandingkan tangan yang lumayan lama. Kalau cepat dihasilkan, jadi cepat juga dijual. Selain itu batik printing bisa dibeli di bawah Rp 100 ribu. Sementara batik tulis berkisar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta,” tutur pria tua bersahaja ini.
Menurutnya, kemunculan mesin cetak menjadi awal mulanya batik kelimpungan. Sebagai buktinya, dia menunjukan lingkungan-lingkungan yang tadinya terhitung wilayah penghasil batik telah beralih menjadi tempat produksi lain atau jasa. Macam, lingkungan Prawirotaman, Mantrijeron, dan Karangkajen. Pun demikian dengan, lingkungan yang termasuk di wilayah dalam benteng keraton. “Sudah banyak yang alih profesi. Kayak, Prawirotaman. Dulunya itu sentra batik juga. Tapi sekarang sudah jadi wilayah yang dipenuhi hotel,” katanya.
Hal lain yang membuat batik masih kelimpungan adalah pasar bebas. Menurutnya, pabrik-pabrik textile Cina tidak sedikit yang memproduksi batik dengan motif-motif khas Indonesia. “Sekarang hasil produksinya bahkan sudah bisa dibeli di Pasar Tanah Abang,” bebernya.
Kondisi itu, baginya, jelas bertolak belakang dengan batik tulis. Selain dikerjakan dengan tangan, batik tulis dibuat sebagai pekerjaan sambilan oleh masyarakat desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. “Kalau lagi musim tanam atau musim manten (nikah,Red), ya ditinggal. Makanya batik tulis paling tidak dibuat tiga bulanan,” akunya.
Masih terkait dengan pemasaran, Hadi mengaku tidak akan tahu sampai kapan kondisi ini akan terjadi. Dia dan pembatik lainnya hanya bisa berharap pemerintah memberi jalan terang bagi usaha mereka. Agar batik benar-benar secerah nasibnya yang diakui dunia. “Entahlah, mungkin kapan-kapan. Sekarang ini mungkin belum terasa. Mudah-mudahan nanti,” tandasnya. (chairul amri simabur)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reboisasi Mandiri Ala Warga Temukus

Menengok Klebutan Toya Masem (1)

Meamian-amianan, Suka Cita Para Dewa