Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Kebo Hitam, Sisi Lain Keindahan Tenganan

Selain kain Geringsing, identitas Desa Tenganan akan mudah diingat dengan kebo yang berkeliaran seantero desa. Kebo itu ada tanpa diketahui sejarahnya. Sekalipun demikian, kebo itu tetap lestari sampai sekarang.


SEORANG bule yang tengah berkunjung ke Desa Tenganan mendadak terkejut. Saat dirinya asyik menjempret salah satu bangunan tua nan unik di Desa Tua tersebut, dia dikagetkan dengan bunyi dengusan yang datang dari arah belakang. Tak dinyana, seekor Kebo (Kerbau,Red) tengah menghampiri dirinya dan berusaha mengendus tas gendong yang ada di punggungnya.

Momen yang mengagetkan itu ternyata tak membuat bule gaek tersebut gentar. Malah sebaliknya, dia merasa tertantang untuk menjepret binatang bertanduk yang sudah bikin dia sport jantung tadi.

Peristiwa tersebut tak telampau lama terjadi. Dan, karena melihat peristiwa itu, koran ini pun menjadi penasaran, kenapa kebo tersebut dibiarkan lepas dan bagaimana ceritanya binatang ternak itu bisa dilestarikan di Tenganan?

Sabtu (30/1) kemarin, salah satu tokoh masyarakat Tenganan, I Nyoman Sadra menyempatkan diri untuk bercerita mengenai kehadiran puluhan ekor kebo yang ada di desanya. Menurutnya, tak satu orang pun warga Tenganan yang mengetahui sejarah kenapa kebo itu dipelihara dengan cara bebas seperti itu.

“Tidak ada sumber tertulis, kenapa kebo-kebo itu berkeliaran. Begitu juga kenapa desa memelihara kebo tersebut tanpa digembalakan,” kata Sadra membuka pembicaraan.
Menurutnya, karena sudah ada seperti itu, kebo yang terlanjur berkeliaran tersebut menjadi jinak dengan siapa saja. Tak hanya pada warga Tenganan saja, kepada wisatawan yang datang ke Tenganan demikian juga.

Meski tak ada sumber tertulis yang bisa menceritakan kehadiran kebo-kebo tersebut, Sadra pun sejak dari dulu mengkaitkannya dengan tradisi yang berkembang di masyarakat setempat. Bagi warga Tenganan, kebo hitam jantan dipakai untuk sarana upacara setahun sekali. “Setahu saya, hanya itu alasan utamanya. Biasanya kebo hitam jantan dipakai upacara Sambah setahun sekali,” tuturnya.

Di samping itu, bagi masyarakat setempat kebo juga diyakini sebagai binatang suci. Karena pada kenyataannya, di Tenganan ada bangunan suci yang namanya Pura Kandang. Jadi, setiap kebo yang hendak dikorbankan saat upacara Sambah, sebelumnya harus diupacarai di tempat itu.

“Ada dewanya, tapi tidak ada yang tahu apa nama dewanya. Dewa itulah yang menggembalakan mereka. Karena keyakinan itu juga, sebagian besar warga juga menganggap berbuat kasar pada kebo merupakan hal tabu yang tak patut dilakukan,” jelas penekun spiritual ini.

Karena keyakinan itu juga, kebo-kebo tersebut dibiarkan lepas begitu saja. Bahkan, kalau sudah musim kemarau, kebo-kebo tersebut terkadang menimbulkan masalah juga. Tidak sedikit di antara kebo yang jumlahnya diperkirakan 30 ekor tersebut masuk ke tegalan milik warga. Memakan tanaman apa saja yang dilihatnya untuk menghilangkan rasa hausnya, entah nanas atau pisang. Tak jarang juga, kebo itu masuk ke rumah-rumah warga dan meminum air yang ada di penampungan.

“Di satu sisi ini merugikan. Tapi di desa tidak ada hukum yang mengatur itu. Malah sebaliknya, warga yang punya kebun harus mawas diri. Dia harus memperkuat pagar yang dibikinnya. Lain halnya kalau kebo itu makan punya warga di luar desa. Seperti di Pesedahan, pastinya kena denda,” imbuhnya.

Meski dimanja dan mendapat penghormatan, puluhan kebo di Tenganan tak jarang mendapat marahabaya. Terutama saat musim kemarau melanda. Tak sedikit yang sampa mati lantaran berjuang mencari air di sungai.

Seperti cerita I Nyoman Sadra, musim kemarau tak hanya menjadi bahan keluhan bagi manusia saja. Kebo di Tenganan pun ikut merasakan pergantian musim itu. Mereka juga kenal yang namanya dehidrasi. Sehingga apapun akan dilakukan oleh puluhan ekor Kebo itu untuk meneguk air. Tak peduli sampai merobohkan pagar kebun milik warga. Dan, mencari buah-buahan yang banyak mengandung air.

Di samping itu, ada pula kebo yang berpencar mencari air ke sungai yang berada di perbatasan desa. Sayangnya, lokasi sungai yang lumayan agak bergelombang tak jarang menimbulkan kecelakaan bagi kawanan kebo tersebut. Badan mereka yang besar tak sebanding dengan medan yang mereka tempuh saat mencari air. Sehingga ada saja di antara mereka yang sampai patah kakinya. Dan, kalau sudah begitu, mereka tak bisa ke mana-mana lagi hingga mati.

“Masalahnya di musim kemarau. Bukan hanya manusia saja yang kebingungan cari air, hewan pun juga mengalami hal yang sama. Makanya, nggak jarang ada kebo di sini yang sampai mati. Gara-garanya terjatuh saat mencari air di sungai,” tutur Sadra.

Kalau ada yang mati bagaimana? Menurut Sadra, karena kebo sudah dianggap sebagai binatang suci, tentu warga setempat akan menguburkannya. Dari pihak desa akan menerjunkan Gumi Pulangan. Jumlah petugasnya sekitar 25 orang. Namun warga yang kebetulan ditunjuk untuk menjadi petugas tersebut harus siap melakukan penguburan.
“Kalau tidak akan dikenai denda. Saya lupa berapa dendanya,” kata pria yang di masa mudanya sempat melawat ke India ini.

Kecelakaan yang kerap dialami kebo-kebo tersebut, menurut Sadra, belakangan ini mulai jarang terjadi. Karena pihak desa sudah membuat kebijakan untuk mencarikan rumput bagi kebo-kebo tersebut. Terutama kalau sudah musim kemarau panjang. “Cari rumputnya bergiliran,” jelasnya.

Lain halnya bila musim hujan, kebo itu akan dengan mudah mencari makanan. Karena pada dasarnya, di desa sudah ada beberapa areal khusus yang menjadi tempat kebo-kebo itu merumput. Letaknya di kuburan desa yang di sebalah timur dengan luas sekitar 600 x 100 meter. Serta di utara desa dengan luas yang mencapai 2 hektar.

Mengenai keberadaan kebo yang sering keluyuran di areal desa, Sadra mengakui, pada dasarnya memunculkan pemandangan yang kurang sedap. Terutama bagi para wisatawan yang berkunjung ke Tenganan. Namun, di situlah nilai lebih dari Tenganan.


“Mungkin ada anggapan (jorok,Red) seperti itu. Tapi, bagaimana lagi mereka sudah ada jauh sebelum warga-warga yang sekarang lahir. Dan, itu juga jadi keunikan Tenganan tersendiri. Saya rasa, ke depannya desa memang perlu menyiapkan petugas secara bergiliran untuk membersihkan kotorannya,” tandasnya. (chairul amri simabur)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)